Copyright © Cerita Mila
Design by Dzignine edited milaizzatul
Tuesday 13 April 2010

Para Pembelah Kapal


Jika ditanya, “Ada apa di ujung kota Jakarta?” Sebagian besar masyarakat Ibu Kota menjawab. “Taman rekreasi Ancol.” Tidak ada yang menyangka bahwa diujung kota Jakarta terdapat suatu kehidupan yang keras dan merupakan suatu anonym dari kehidupan mewah yang tersirat dalam jawaban sebagian besar masyarakat itu.
 

Oleh : Mila Izzatul Ikhsanti

Terletak di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sebuah kehidupan yang untuk sebagian besar masyarakat tidak pernah mengatahui bahkan sekedar membayangkannya saja. Kehidupan yang sangat keras, sekeras benda – benda yang dijumpai disana.

Sesuai dengan namanya, Gang Belah Kapal adalah tempat dimana kapal – kapal yang sudah tua di hancurkan, dibelah – belah hingga menjadi potongan potangan besi yang siap didaur ulang kembali.

Tempat yang semula hanyalah sebuah rawa di pinggir laut, disulap menjadi sebuah lapangan kerja oleh seorang wanita keturunan Bugis bersama dengan suaminya yang keturunan Madura. Sudah belasan tahun ini tempat itu menjadi mata pencaharian penduduk sekitar daerah Cilincing yang kebanyakan perantau dari luar Jakarta.

Saat pertama memasuki Gang Belah Kapal, lingkungan perumahan kumuh seakan menjadi sambutan bagi seseorang yang ingin mengunjungi tempat pembelahan kapal itu. Aroma amis dari tempat pembuatan ikan asin juga turut mewarnai suasana di daerah tersebut. Semakin jauh memasuki gang, terdengar sayup – sayup suara desir air laut. Diujung gang tersebut terhampar pemandangan air laut nan biru yang terhalang – halangi kapal – kapal tua serta alat – alat berat, di situlah tempat pembelahan kapal berada.



 

Sang Eksekutor

Dibawah sinar matahari yang sangat terik, sekitar 50 pekerja di tempat pembelahan kapal tersebut masih terus memotong – memotong besi kapal menjadi lempengan – lempengan, mengelas, dan mengakut atribut kapal, seperti rantai kapal, jangkar dan lain sebagainya. Peralatan – peralatan berat terus membongkar kapal dan mengangkat mesin kapal yang luar biasa besarnya.

Debu pekat yang selalu beterbangan serta karat yang dapat menyebabkan infeksi membuat para pekerja wajib menggunakan pakaian yang serba tertutup. Entah betapa panasnya hari – hari para pekerja itu.

Berat kapal yang di bawa ketempat ini berkisar mulai 15000 ton sampai 35000 ton yang dapat diketahui dari surat kapal. Setiap kapal ditangani oleh 15 tukang potong. Setelah badan kapal terpotong – potong. Besi – besi yang sudah sangat lapuk dikirim ke pabrik pendaur ulang besi. Sedangkan besi yang masih lumayan bagus di las kembali untuk dikirim ke pabrik pembuatan kapal.

Selain membelah kapal, para pekerja di tempat ini juga menangani perbaikan kapal – kapal kecil yang rusak. Seperti kapal nelayan, skoci kapal – kapal besar dan speedboat.

“Rata – rata kami menghabiskan waktu 12 minggu untuk membelah satu kapal. Tapi tergantung dari berat kapal itu sendiri.” Ungkap Bapak Karmin, salah satu pekerja yang berasal dari Kalimantan Selatan. Bapak Karmin mengaku sudah bekerja selama 18 tahun di tempat ini sebagai pemotong besi.

Selain bapak Karmin, saya sempat bertanya masalah upah kepada salah satu pekerja, “Setiap hari kami digaji 60000 rupiah. Tapi belum termasuk makan siang. Kami bekerja mulai pukul 07.30 sampai 17.00.” Jelas Bapak Tasir. Pemotong besi asli Jakarta yang bekerja sejak tahun 1993.

Gaji Rp 60,000,- per hari digunakan Bapak Tasir untuk menghidupi seorang istri dan kelima anaknya. Ia memiliki 3 anak yang masih bersekolah di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Anak sulungnya sudah sekolah, sedangakan si bungsu masih berusia 4 tahun.

Dapat dibayangkan dari potret kehidupan Bapak Tasir yang serba pas – pasan bahwa para pekerja disana hanya mendapat upah yang tak setimbang dengan pekerjaannya. Menyulap sebuah kapal yang beratnya ribuan ton menjadi potangan – potangtan besi yang rutin dikerjakan setiap hari dibawah teriknya sinar matahari dan kepulan debu.


Perempuan Pengumpul Karat


Ditengah hiruk – pikuk para pemotong besi, pengelas, dan kuli angkut, ada pemandangan yang membuat mata terbelalak. Sekumpulan wanita – wanita terlihat sibuk mengais – ngais tanah mencari sesuatu. Sekilas, mereka seperti para laki – laki pemotong besi, Karena pakaian yang mereka kenakan mayoritas sama. Namun, jika dilihat lebih jeli, sekumpulan itu bukanlah laki – laki melainkan perempuan.Kegiatan mereka setiap harinya memang mengais tanah untuk mengambil serpihan – serpihan karat dari besi – besi yang telah lapuk.

Alat yang mereka gunakan berupa sebatang kayu yang ujungnya diikatkan sebongkah besi berani atau yang lebih biasa kita kenal dengan magnet.

Serpihan karat yang menempel di magnet lalu di masukkan dalam wadah seperti ayakan. Setelah itu karat di ayak agar tanah serta pasir yang menempel terpisah. Jika sudah terkumpul banyak, karat – karat tersebut dijual kepada pendaur ulang besi.

Pekerjaan sehari – hari para perempuan itu tak hanya di daratan yang penuh debu. Tetapi juga di laut. Jika karat di daratan sudah habis, mereka berpindah mencari karat di laut. Mereka berenang mendekati kapal – kapal besar yang siap menunggu dibelah. Bagian bawah kapal itu adalah tempat rezeki para wanita pengumpul karat.

“Dalam sehari paling banyak saya bisa mengumpulkan 1 karung karat, kira – kira beratnya 100 kilo, tapi rata – ratanya hanya 70 kilo per hari. Biasanya dihargai 150 sampai 200 rupiah per kilo-nya.” Tutur Ibu Karsinah, salah satu pengumpul karat.

Ia mengaku telah bekerja di tempat pembelahan kapal ini sejak tahun 1994. Sepeninggal suaminya, ia memberanikan diri untuk merantau dari Indramayu ke Jakarta. Ia memiliki tiga orang anak. Namun malangnya, setelah anak – anaknya berkeluarga, ibu Karsinah ditinggal sendirian oleh putra – putri nya tersebut.

Para wanita itu sebenarnya bukan pegawai resmi perusahaan pembelahan kapal, tetapi mereka berinisiatif sendiri untuk mencari karat untuk diubah menjadi sesuap nasi. Penghasilan mereka tidak tetap layaknya pemotong besi ditempat itu, tetapi penghasilan wanita – wanita tersebut tergantung pada banyaknya karat yang berhasil mereka dapatkan dalam sehari.

Menurut salah satu mandor di tempat pembelahan kapal itu, terdapat kurang lebih 20 wanita yang sehari – hari dating ke tempat itu untuk mencari karat. Prinsip mereka sama, dari pada mengemis dan mengharapkan belas kasihan dari orang lain, mereka lebih memilih bekerja mengais tanah dan berendam di laut untuk mencari serpihan karat. Mereka sama sekali tidak mempedulikan panasnya sinar matahari serta bahaya dari karat yang akan menginfeksi mereka.

Gang Belah Kapal memang bukan sekedar gang yang pada umumnya untuk menghubungkan suatu jalan ke jalan lainnya. Bukan juga gang yang digunakan sebagai jalan alternatif. Namun di ujung gang tersebut terpampang kehidupan yang keras. Kehidupan yang selayaknya dijadikan cermin bagi kita. Sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan? Sudahkah kita peduli kepada sesama? Dan sudahkah kita bersyukur?

2 komen:

  1. permisi mbak, boleh saya tahu, dimana tepatnya gang belah kapal di kawasan cilincing tsb ?

    ReplyDelete
  2. cerita bagus sekali nih,i like it...

    ReplyDelete

waktunya komentaaar