Copyright © Cerita Mila
Design by Dzignine edited milaizzatul
Sunday 10 January 2010

Langit (Cerita Liburan Semester I)

“Di pagi hari kami berada dan kerajaan (langit dan segala isinya) adalah milik Allah swt.” Itulah kalimat dari Al-Ma’tsurat yang selalu aku ucapkan di setiap pagi hari usai sholat Subuh, dengan harapan aku akan selalu ingat bahwa Tuhan Maha Kaya. Ia lah yang menciptakan langit yang luas dan indah. Meskipun pada malam hari langit nampak gelap, namun tetaplah indah.

Berbicara mengenai keindahan langit, aku jadi teringat dengan pengalaman – pengalaman yang aku dapat selama Liburan akhir semester I kemarin. Liburanku selama 14 hari itu bagaikan langit. Mengapa? Begini aku ceritakan.




Di mulai pada siang hari. Langit siang dihiasi bola api raksasa yang cahaya dan energi panasnya mampu sampai ke bumi setelah menempuh jarak 150 juta kilometer jauhnya, dan itulah matahari. Bersamaan dengan itu, semburat warna putih bagai kapas turut menghiasi langit. Ada yang terlihat tipis dan luas, ada pula yang tebal dan bergerombol, itulah awan. Tak lupa, sekawanan burung terbang bebas, membentuk formasi yang lagi – lagi sangat menakjubkan. Aku sering bertanya, siapa yang mengajari mereka membentuk formasi serapih itu ya? Hmm, Maha Suci Allah.

Langit siang seperti itu cerah sekali, secarah hati ku pada hari – hari pertama liburan. Nilai rapor. Hal itu yang paling membuat hari – hari ku cerah. Karena, orang tua ku cukup bangga dengan nilai yang aku peroleh, namun meraka menasihatiku agar jangan pernah puas dengan nilai – nilai yang telah aku peroleh sebelum semuanya sempurna. Sempurna? 17 mata pelajaran harus mendapat nilai sempurna? Agak muluk sepertinya. Kembali mengenai liburanku, aku yakin 14 hari ini akan mengasyikkan. Tidak ada PR, tidak ada ulangan, rasanya tepat untukku mengistirahatkan otakku ini.

Memasak dan membuat kue. Itulah ritual wajib yang aku lakukan saat liburan tiba. Berjam – jam aku menyibukkan diri di dapur bersama ibuku. Ibu pembuat kue nomor satu di dunia versi diriku. Sambil memasak, biasanya kami sering berbagi cerita pengalaman pribadi mulai dari yang serius sampai yang lucu. Maka dari itu, aku merasa sangat dekat dengan ibuku saat sedang memasak.

Usai memasak, kegiatanku selanjutnya adalah menjelajahi dunia maya. Membuka akun – akun di beberapa situs jejaringan pertemanan dan mencari – cari informasi mengenai dunia astronomi. Memang semenjak kelas 2 SMP aku tertarik pada ilmu astronomi karena pada waktu itu, aku pernah mengikuti pelatihan Olimpiade Sains Nasional jurusan Astronomi.

Kalau mataku sudah mulai berair akibat radiasi sinar computer, aku langsung mengganti kegiatanku dengan mebaca buku Ilmu Pengetahuan Populer Jilid 1 hasil pinjaman dari salah satu temanku di sekolah. Sampai saat ini buku itu belum selesai aku baca seluruhnya. Maklum, tebalnya mencapai 285 halaman dengan tulisan yang sangat kecil. Kegiatan ku selain itu hanya rutinitas biasa yang pada umunya dilakukan oleh setiap manusia. Seperti makan, mandi, menonton TV dan lain sebagainya.

Itulah cerita di awal liburanku. Langitku masih cerah. Namun tak selamanya siang merajai. Malam parstilah datang. Langit malam, seperti hari – hari ku pada pertengahan liburan. Suasana hatiku mulai suram. Ternyata liburan tak selamanya menyenangkan. Aku bosan terus – menerus di rumah melakukan rutinitas yang sama setiap hari. Namun, aku menemukan kegitan yang aku yakin akan sangat menyenangkan.

Tanggal 25 Desember 2009 sampai dua hari berikutnya adalah hari – hari yang tak terlupakan dalam hidupku. Dauroh atau explore atau petualangan, adalah acara tahunan sekolah yang diadakan oleh pengurus Rohis 48. Tahun ini tema dauroh-nya adalah DORAEMON yang merupakan kependekan dari Dauroh and Education Mostly in Nature, artinya petualangan dan pembelajaran yang mengutamakan pada alam.

Pagi itu sekitar pukul 06.30 peserta dauroh dan pengurus Rohis 48 bertolak dari SMAN 48 Jakarta untuk menuju penginapan di daerah Bogor. Para peserta menaiki bus milik TNI sedangkan panitia dauroh menaiki truk tronton. Melihat tronton aku teringat dengan peristiwa Lan – Gab .

Aku duduk di bangku belakang bersama kedua temanku Wida dan Meril. Di belakang ku masih ada tempat duduk lagi yang diisi oleh temanku Revana, Rahma, dan beberapa temanku lainnya. Tujuan kami memilih bangku belakang, agar kami dapat merusuh ria di perjalanan nanti.

Kami tidak mendapatkan kendala yang berarti sepanjang perjalanan. Jalan yang kami lalui cukup lancar dan yang terpenting AC bus tidak mati. Ada yang menarik perhatian ku saat perjalanan itu. Karena aku duduk di dekat jendela bus, aku dapat melihat hal – hal di pinggir jalan yang aku lalui. Pada awal masuk kota Bogor, aku melewati sebuah perusahaan dan membaca namanya yang dituliskan besar sekali berbunyi BIMA CHAKTI. Agak aneh memang, aku langsung memberi tahu teman – teman ku tentang tulisan itu. Karena arus lalulintas sedang merayap, jadi teman – temanku masih bisa melihat tulisan tersebut.

Seperti yang aku dan masyarakat umumnya ketahui, bahwa kalimat yang sering kita dengar adalah Bima Sakti yaitu nama galaksi tempat kita berada saat ini. Tapi, mengapa perusahaan tersebut mengganti huruf S dengan C dan menambahkan huruf H setelah C? Menurut ku kalimat itu terdengat seperti anak kecil yang belum bisa melafalkan huruf S atau seperti orang – orang yang ingin sok imut. Aku mengulang – ulang kata Bima Chakti itu dengan sedikit improvisasi sehingga terdengar seperti “Bima Chuakti”. Bahkan sampai tempat penginapan pun masih saja aku sering menyebutnya sebagai bahan guyonan.

Sekitar beberapa jam kemudian, kami sampai di penginapan yang akan kami huni selama 3 hari. Namanya Villa Pondok Cipari, selah satu tempat penginapan yuang terletak di Jalan Raya Hankam, Cilember, Bogor. Villa itu bercat kuning pada bagian luar. Memiliki dua lantai. Dikelilingi oleh halaman hijau yang cukup luas. Di sebelah kanan sampai belakang villa terdapat kebun kecil yang ditanamani jagung dan bambu. Selain itu terdapat juga camp area yang terdiri dari 3 tenda berwarna cokelat. Terlihat juga di bagian depan villa sebuah kolam yang diatasnya terdapat dua bambu besar dan panjang saling bersilangan dan melintang. Mungkin itu untuk outbond, pikirku. Di seberang villa ada persawahan yang dibelakangnya berdiri bukit – bukit ciptaan Tuhan yang sangat indah. Tidak hanya otak yang termanjakan saat liburan itu, tetapi mata pun juga merasa termanjakan dengan pemandangan seindah itu.

Udara amat sejuk. Aku menarik nafas dalam – dalam agar paru – paru ku merasakan udara bersih tanpa gas – gas beracun seperti di Jakarta. Sebelum memasuki villa, kami di bariskan terlebih dahulu, mengikuti acara pembukaan dan pembagian kamar. Untuk akwat (akhwat adalah bahasa Arab dari kaum perempuan) menepati lantai satu. Bertujuan supaya mudah menuju dapur. Sedangkan ikhwan (ikhwan adalah bahasa Arab dari kaum laki – laki) menepati lantai kedua.

Sepuluh nama disebutkan pertama kalinya oleh salah satu panitia dan nama ku termasuk dari sepuluh orang tersebut. Itu artinya aku menepati kamar pertama. Satu kamar berisikan 10 orang dengan 3 kasur berdipan dan 1 kasur hanya diletakkan di lantai. Di kamar pertama ada Aku, Indah, Nariska, Sunti, Arum, Rahma, Kiki, Zia, Raisha dan Erna. Tidak ada habisnya jika aku mendeskripsikan satu persatu dari mereka, karena banyak hal unik yang dimiliki oleh mereka masing – masing, yang jelas mereka sangat mengasyikkan.

Kegiatan pertama di hari pertama diisi dengan bermain – main ria sambil ber ta’aruf. Ta’aruf artinya berkenalan. Sebenarnya banyak dari kami yang sudah saling mengenal, berhubung para alumni serta kakak – kakak kelas turut ikut dalam acara ini, jadi kami belum mengenal mereka. Aku merasa di acara dauroh ini, tidak ada istilah senioritas. Antara kelas sepuluh, kelas sebelas, kelas dua belas sampai alumni berusaha akrab satu sama lain, sehingga aku merasa bahwa semuanya adalah teman sebaya. Ditambah lagi, permainan yang dimainkan adalah permainan anak – anak.

Acara – acara berikutnya diisi dengan materi – materi yang diabawakan oleh berbagai nara sumber. Sampai pada sore harinya adalah acara talkshow dengan narasumber seorang hafidz. Hafidz adalah sebutan bagi penghafal kitab suci Al- Qur’an. Aku sangat takjub dengan seorang hafidz. Karena meraka itulah yang akan menjaga isi Al – Qur’an agar tidak dirubah ataupun hilang. Hafidz itu bernama Muhammad Ahmad Ar- Rosyid. Tanah kelahirannya di Malaysia. Jadi cara ia berbicara masih bercengkok Melayu. Banyak pelajaran yang aku ambil dari acara tersebut.

Malam harinya aku tersiksa. Aku mulai terserang sakit perut. Bukan mulas atau magh tapi entah apa yang jelas sakit sekali. Perutku kembung , tidak dapat buang angin. Usai sholat isya’ adalah acara Nonton Bareng. Film yang diputar berjudul Kun Fu Panda. Aku mulai khawatir, karena film ini termasuk film yang akan mengocok perut penontonnya. Benar saja, disaat peserta dauroh yang lain tertawa dengan gembiranya. Aku malah berjuang habis – habisan agar tidak tertawa, karena jika aku tertawa, perutku akan semakin sakit seperti tertusuk – tusuk jurum. Andai saja jika aku tidak sakit, aku pasti bisa menikmati film itu dengan cerianya. Namun, dari kejadian itu ada hikmah yang dapat aku petik. Bahwa nikmat yang Tuhan berikan itu jangan disepelekan begitu saja. Buang angin mungkin hal remeh bagi kita, tapi sakitnya luar biasa jika kita tidak dapat melakukannya.

Pagi hari dikeesokan harinya sangat dingin. Aku memakai jaket tebalku saat senam pagi di halaman villa. Perbukitan di depan villa tampak samar akibat awan stratus yang masih enggan pergi dari tempat yang indah itu. Rumput – rumput dihalaman basah karena embun dan air hujan yang sempat mengguyur semalam. Lagi – lagi tak aku lewatkan kesempatan menghirup udara sesegar itu. Nafasku aku atur panjang – panjang agar banyak udara yang masuk ke paru – paru. Perutku sudah sedikit membaik. Namun, kedua kakinya pegal – pegal akibat semalaman aku tidur dalam keadaan menekuk kaki. Maklumlah 3 kasur berdipan kami rapatkan untuk tidur delapan orang.

Usai senam pagi acara selanjutnya games. Aku sangat menikmati acara itu. Kami dilatih agar cekatan, cerdas, dan aktif. Bersama kakak – kakak kelas dan alumni kami saling berlari – larian, hukum menghukum, dan bahagia bersama tentunya. Momen yang sayang untuk dilupakan.

Perbukitan mulai tampak jelas, sinar bola api raksasa sudah mulai menghangatkan tubuh. Rupanya awan stratus sudah pergi atau naik dan bergabung dengan sesamanya membentuk awan cumulus. Usai sarapan kami mengikuti acara outbond,. Kerjasama kelompok dititik beratkan dalam acara ini. Kelompokku adalah kelompok 1, terdiri dari 8 orang yang diketuai oleh teman sekamarku, Nariska.

Ada hal yang tak terlupakan saat outbond yaitu saat di pos terakhir. Sudah aku ceritakan sebelumnya bahwa terdapat sebuah kolam di depan villa. Susai dengan terkaanku, bahwa kolam itu untuk kegiatan outbond khususnya untuk bermain perang bantal air. Waktu itu cumulus hitam mulai bergerak ke arah langit diatas kami. Pos terakhir adalah kolam itu. Nariska mencoba permainan perang bantal air yang pertama kali melawan dari kelompok 2. Sayangnya, karena tidak seimbang, hantaman bantal dari berhasil menjatuhkan Nariska dari bambu.

Selanjutnya giliran aku yang mencoba. Titik – titik air dari cumulus hitam tadi mulai jatuh ke bumi. “Ah, lanjutkan saja lah, nantinya juga basah. Lagian hanya gerimis halus seperti ini saja.” Pikir ku. Aku mulai menaiki bambu pertama dan menggeser tubuh ku ke daerah perpotongan antara bamboo satu dan bamboo yang kedua. Di tempat perpotongan itu tertumpuk 2 bantal basah yang harus kami ambil sebelum menuju ke bamboo ke dua. Memang jika kita hanya melihat, yang ada dipikiran kita itu pekerjaan yang mudah. Tetapi cukup sulit ternyata. Memindahkan tubuhku ke tepat bantal saja sudah menguras tenaga ku. Jika tidak seimbang aku bisa kalah sebelum bertanding. Tapi akhirnya aku pun berhasil mengambil bantal setelah lawanku, Revana berhasil mengambil bantalnya terlebih dahulu.

Pertarungan berlangsung di bamboo ke dua. Hujan semakin deras. Berkali – kali aku hampir terjatuh ke kolam akibat hantaman bantal dari Revana ke tubuhku. Buk! Buk! Buk! Aku berusaha menjatuhkan lawanku. Samapi apada suatu saat, bantal Revana mulai koyak, busanya keluar dari sarung bantal. Ia memerintahkanku untuk berhenti menyerangnya sementara ia membetulkan bantalnya. Tapi, aku tidak mau dan menganggap ini kesempatan bagus. Aku mengumbulkan segenap tenaga ku untuk mengayunkan bantal dan menghasilkan hantaman yang mampu menjatuhkan Revana. Sambil tertawa aku memukul Revana.

Buk! Wahahahaaaaa! Byuuuuur!!!

Tidak sepeti yang kau bayangkan kawan. Bukan Revana yang jatuh tapi aku sendiri yang terjatuh. Saat memukul aku tertawa dan aku tidak mampu menahan gaya tolak dari pukulan yang aku arahkan ke tubuh Revana. Revana hanya terguncang sedangkan aku jatuh dalam keadaan tertawa dan terlentang. Alhasil, air masuk ke hidung dan telingaku. Perih rasanya, tapi aku masih ingin tertawa.

Hujan semakin deras kegiatan di luar disudahi dengan terjatuhnya aku ke kolam. Aku menggigil kedinginan, berusaha mengeluarkan air dari hidung dan telingaku lalu mandi dengan air sedingin es yang meleleh. Manfaat yang aku ambil dari kejadian itu adalah, aku dapat mandi. Semenjak sehari sebelum itu, aku tidak dapat mandi. Karena air terlalu sedikit akibat masalah pada saluran air ke setiap kamar. Berhubung aku yang sudah basah kuyub, jadi aku dipersilakan untuk mandi terlebih dahulu.

Tanggal 27 Desember 2009. Daoroh hari terakhir, acara yang aku tunggu – tunggu hari itu adalah Tafakur Alam. Usai sarapan kami diperintahkan untuk membereskan barang – barang dan bersiap – siap untuk menuju Curug Cilemeber. Curug adalah bahasa sunda dari air terjun. Aku mengisi tas kecilku dengan Al – Quran, Al – Ma’tsurat, dompet, telepon seluler, minyak kayu putih, tissue, dan sekaleng susu rasa teh hijau kesukaan ku.

Panitia rupanya telah menyewakan beberapa angkutan kota untuk membawa kami ke Curug Cilember. Aku bersama teman satu kelompok dan beberapa kakak kelas menaiki salah satu angkutan kota berwarna biru. Aku langsung mengambil tempat duduk paling depan agar setiap pemandangan yang aku lihat tidak terhalang apapun.

“Curugnya jauh nggak, pak?” tanyaku pada sang supir angkot.

“Nggak kok neng, di bukit sebelah situ, tuh, yang banyak rumah – rumah itu loh.” Jawab sang supir sambil menunjukkan daerah yang ia maksud.

Jika dilihat memang tidak jauh. Karena seolah – olah kami hanya cukup berjalan menyebrangi persawahan di seberang villa dan mendaki bukitnya sedikit. Tapi ternyata tidak seperti yang aku bayangkan. Mobil itu melaju menyusuri jalan yang berliku – liku naik dan turun dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Perjalanan menuju curug hampir seperti menaiki wahana Halilintar di Dunia Fantasi Ancol. Bedanya, kalau kita menaiki Halilintar tidak ada pemandangan bagus yang dapat kita lihat. Sedangkan perjalanan ke Curug Cilember di temani oleh pemandangan yang lumayan bagus.

Jantungku masih berdebar saat mobil itu berhenti di depan pintu gerbang tempat wisata Curug Cilember. Aku membuka pintu dan turun dari mobil. Teman – teman ku juga sama seperti ku. Aku melihat mobil – mobil pribadi yang parkir. Sebagian besar berplat nomor B. Artinya banyak pengunjung dari Jakarta ke Curug ini.

Singkat cerita, usai menerima materi penghafalan Asmaul Husna oleh seorang narasumber, kami dipersilakan bergerak menuju air terjun. Untuk akhwat ke curug 7 sedangkan ikhwan ke curug 6. Hari itu cukup ramai pengunjung. Tapi banyaknya pengunjung tak sebanyak pohon – pohon tinggi tertanam kokoh dan berjajar rapih di tempat wisata tersebut. Sejuk sekali.

Sampailah kami di curug 7. Kegiatan pertamaku di tempat itu adalah mengambil foto sebanyak – banyaknya . Aku bersama teman – teman dan senior ku berfoto – foto ria di depan air terjun. Meski kaki ku mulai mati rasa akibat dinginnya air, tapi tetap saja aku tak mau melewatkan keindahan ciptaan Allah itu sebagai latar foto – foto ku. Bahagianya aku waktu itu.

Sepulang dari curug kami mengikuti acara haflah yang artinya pentas. Setiap kelompok wajib menampilkan pertunjukkan sekreatif mungkin. Kelompok ku menampilkan Nasyid. Sayangnya aku yang paling sering melakukan kesalahan. Jadi, kelompok kami terkalahkan oleh kelompok lain. Aku sedikit merasa bersalah, namun teman – teman ku sama sekali tidak marah padaku, malahan mereka tertawa atas tingkah ku saat pertunjukkan.

Seusai sholat Dzuhur kami berangkat menuju Jakarta kembali. Aku merasa dauroh yang diadakan selama 3 hari itu kurang lama. Aku ingin lebih lama lagi dapat bersenda gurau bersama para senior dan teman – teman Rohis ku. Aku takkan pernah melupakan villa kuning dengan halaman rumput hijau yang luas beserta kolam nya. Tak ada yang menarik sepanjang perjalanan. Aku dan kawan – kawan ku sangat lelah, jadi sebagian besar yang berada dalam bus tertidur. Hujan mengiringi perjalanan kami sampai Jakarta. Untungnya sesampainya di sekolah, hujan belum mengguyur.

Begitulah ceritaku pada pertengahan liburan. Bagaikan langit malam. Karena disaat hatiku merasa bosan, suram, hitam seperti langit malam, aku mendapatkan banyak hikamah pada saat dauroh. Hikmah – hikmah tersebut seperti cahaya – cahaya bintang dan bulan yang membuat langit malam menjadi indah.

Terakhir adalah langit di pagi hari. Langit yang selalu menemani manusia memulai hari – harinya. Itu seperti suasana hatiku saat hari – hari terakhir di liburan semester I ku. Aku bersama keluargaku menyempatkan diri untuk berlibur ke Dunia Fantasi Ancol pada 2 hari sebelum liburan usai. Aku tak hanya sekedar bersenang – senang disana. Tetapi juga melatih kesabaran. Mengapa? Setiap wahana yang ingin aku coba, harus mengantri sekurang – kurangnya 40 menit. Sedangkan satu wahananya saja hanya 15 menit. Tetapi aku tetap senang dengan kegiatanku diakhir liburan itu, menambah semangatku untuk hari pertama menghadapi rutinitas sekolah di keesokan lusa harinya.

Itulah kisah liburan semester I ku yang telah menjadi memoriam. Sungguh, aku tak akan melupakan setiap kejadian yang aku lalui selama 336 jam itu. Hatiku sepeti langit yang selalu menaungiku dimanapun aku menginjakkan kaki dimuka bumi ini. Langit siang yang sangat cerah, langit malam yang sangat indah dan langit pagi yang penuh semangat.

0 komen:

Post a Comment

waktunya komentaaar